Minggu, 24 April 2016

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM



BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM


A. BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
 
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah dipraktekan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara.Semenjak wafatnya Rasulullah SAW,islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara.Dalam banyak hal,biasa ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara,terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani.
Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M,ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan system pemerintahan,lebih-lebih sejak terbebasnya dunia islam dari Kolonialisme Barat,dunia islam telah mempraktekan system polotik yang berbeda dengan masa lalunya.Jika dilihat dari kenyataan sejarah,ummat islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan komdisi yang dihadapinya.

1.NEGARA KESATUAN

Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan dipusat.Kekeuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagaian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan system desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berda pada pemerintahan pusat.
Dalam praktik sejarah politik ummat islam,sejak zaman Rasullah SAW hingga al-khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa islam diprak
tekkan didalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan,dimana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat ,gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah. Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus.Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah, tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana saja ia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan kedalam kebangsaan apapun dia termasuk,dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain.Oleh karena itu walaupun dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada diwililayah darul Islam.
Zainal Abidin Ahmad menegasklan bahwa sejak berpuluh-puluh abad yang lalu, islam telah menentukan pendirianya bahwa bentuk Negara islam adalah republic.Khilafah adalah seorang presiden yang dipilih oeh rakyat. Dengan mengutip pendapat Ibnu Rusyd, pemerintah Arab klasik dizaman Islam yang pertama adalah seperti system republic dari Plato, tetapi Muawiyah meruntuhkan susunan yang baik itu, menghapuuskan segala keindahan dengan mencabut seluruh urat akarnya. Kemudian didirikan suatu emerintahan Otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya seluruh sendi asas pemerintahan islam dan berjangkitlah anarki dan kekacauan diseluruh negeri Andalusia.
Negara kessatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi Negara kesatuan islam yang berbentuk Monarki (kerajaan) dimana kepala Negara tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan keturunan.
Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh ummat Islam dipraktekkan dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Ilam yang berbentuk republik telah dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang beraliran Syiah dan Republik Islam Pakistan yang beraliran Sunni.Kedua Negara ini telah menjadi contoh dari Negara kesatuan islam yang berbentuk republik .Sedangkan bentuk Negara Ikesatuan islam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain diman pergantian kekuasaan tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.

2.
NEGARA FEDERAL

Dalam praktek sejarah politik ummat Islam, sejak mulai lahir dizaman nabi sampai dizaman al-Khulafa al-Rasiydun, Dinasti Umaiyyah dan permulaan Abbasiyah, Negara Islam masih berbentu Negara kesatuan. Baik dimasa pemerintahan daerah masih Imarah Khasanah dizaman Nabi dan Khhalifah Abu bakar, maupun sesudah menjadi Iamarah ‘Ammah yang dimulai oleh Khalifah Umar , Negara Islam masih tetap merupakan Negara kesatuan. Tetapi, setelah pemerintahan daerah menjadi Imarah istila; barulah berubah bentuk menjadi Negara Pederasi.
Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa pemerintahan daerah dizaman Khalifah Mansur (Abbasiyah), masih tetap desentralisasi atau daerah otonom-otonom.
Kebetulan dizaman ini muncul suatu daerah yang ingin menjadi suatu Negara , yaitu Negara Andalusia, yang didirikan oleh Abdurrahman bin Mu’awiyah dari bani Umaiyah pada 139H/756M. Namun dinasti Umaiyah masih belum berani melepaskan diri dari wilayah Abbasiyah, yang terbukti dari ppanggilan penguasa negarranya adalah Amir yang berarti kepala Negara
bagian . Baru dizaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193H/789-809M), dimulai rencana pementukan Negara federasi.Dia menghadapi persoalan yang serupa dengan kakeknya, Mnsur, yakni berdirinya Negara Idrisiyah (adarisah) dimaroko pada tahun 177 H.Pada awalnya perestiwa itu disambut dengan kemarahan.Tetapi, kemudian pemerintah sendiri mengadakan rencana pembentukkan Negara-negara bagian, dengan menyetujui berdirina Negara Aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada tahun 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aglab.Negara ini berdiri selama satu abad, dari 184 H/800 M -296 H/908 M. Rencana ini dilanjutkan kembali oleh khalifa Ma’mun (128-218H/813-833M). Diperintahkan kepada Wazir yang tercakap, Tahir bin Husen,untuk mendirikan suatu Negara bagian sebagai percobaan (model) di Khurasan dengan nama Thahiriyah dari 205H/820M -259H/872M. Dalam sejarah muncul dua jenis Negara bagaian, yaitu Imarah Amamah tingkat Istila,yakni Negara-negara bagian yang memiliki status Negara terbatas.Kepala Negara bagian ini dinamakan amir. Dan Imarah Amamah tingkat istimewa, yang memiliki hak-hak Negara yang sangat luas, keluar dan kedalam.Kepala Negara dinamakan sultan.
B. SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Adapun system pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing ummat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, ummat islam pernah mempraktekkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.
1. SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH
Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum bagai kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk menegakkan hokum-hukum syari’at silam dan memikul da’wah islam keseluruh dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru dunia.Dan menjalankan kewajiban yang demikian itu,sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin.
Berdasarkan Ijma’ Sahabat, wajib hukumnya mendirikan kekhalifahan.Setelah Rasulullah SAW wafat,mereka sepakat untuk mendirikan kekhalifahan untuk Abu Bakar, kemudian Umar, Ustman dan Ali, sesudah masing-masung dari ketiganya wafat. Para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas kewajiban untuk mendirikan kekhalifahan, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan. Oleh karena itu, kekhalifahan (khilafah) adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.
Jabatan ini merupakan penggati nabi Muhhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni memppertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan). Orang yang menjalankan tugas itu disebut Khalifah.

2.
KHILAFAHBERDASARKAN SYURA
Sistem pemerintahan islam berdasarka syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada system musyawarah sebagai paradigm dasar kekuasaan.Abu Bakar Al-Shiddiq, umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh semnagat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari system pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW.
3. KHILAFAH
MONARKI
Pasca berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan oleh khalifah bani Umaiyah dengan Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai khalifah pertama.Sejak saat itulah khilafah Islamiyah yang sudah berdasarkan syura digantikan dengan system keturunan, menjadi Negara kerajaan (monarki) mengikuti system yang diperlakukan di Persia dan Romawi.
Sisrem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial.Patrimonialiisme yang dimaksud disini adalah system pemerintahan yang member hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan bias diwariskan kepada keluarganya (turun temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukunganya.
Sistem monarki adalah system waris (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan system pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya .Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyyat,raja memiliki kekebalan terhadap hokum, dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi monarki ini terjadi ketika Muawiyah melantik putranya Yazid sebagai khalifah atas dasar Mughirah bin Syu’bah.Sistem khilafah monarki terus berlanjut hingga kerajaan islam dipegang oleh Turki Ustmani yang timbul di Istambul pada 699 H/ 1299 M yang dipimpin oleh Ustman l yang kemudian dikenal sebagai dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah hingga 1342H/1924M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid ll. Tak pelak lagi sejak Dinasji Umaiyyah hingga Dinasti Utsmani, system pemerintahan Islam sudah sangat jauh dari kekhalifahan yang berbasisi syura menjadi khilafah monarki.
4.
IMAMAH
Kunci utama Imamah dalam politik syi’ah adalah terletak pada posisi imam. Karena status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam mazhab Syi’ah Imamiyah.Mereka dianggap penerus yang dari nabi Muhammad SAW dan mereka percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk oleh Allah SWT melalui nabinya.Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya ,tetapi karena mereka merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama. Demikian juga mereka tidak ditunjuk mmelalui consensus rakyat.
Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tau kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjuk mereka. Syi’ah menganggap bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai kulitas,tugas, dan otoritas dari nabi. Bimbingan politi dan agama dari mereka dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka.
Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada Imam (yang kemudian diterjemahkan menjadi wilayat al- afqih) diterjemahkan dalam periode modern dalam bentuk negarra Irean. Iran menjadi penjelmaan politik Syi’ah setelah revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini.
5.
DEMOKARASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna. Tetapi pada dunia modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan.
Paling tidak ada tiga mavam bentuk demokrasi yaitu , demokarasi formal, permukaan, dan substantive.
a.
Demokrasi Formal
Demokrasi formal ditaandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas, adil, dan kompetitif.Biasanya ditandai dengan tidak digunakanya paksaan secara berlebihan oleh Negara terhadap terhadap masyarakat, ada kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum.
b. Demokrasi Permukaan
Demokarasi Permukaan merupakan demokrasi yang umum ditetapkan di dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dahulu demokrasi ini lazim terdapat di Amerika latin, Timur tengah, misalnya Presiden Saddam Hussein (Iraq), Hafez al-Assad (Syria), dan Husni Mubarak (Mesir) dimana rezim penguasa tidak menginginkan demokrasi yang sebenarnya.
c.
Demokrasi Substantif
Demokarasi macam ini memperluas ide demokarasi diluar mekanisme formal, ia mengintensifkan konsef dengan memasukan penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum public yang dipilih dan dengan partisipasi kelompok.

6.
MONARKI DAN MONARKI KONSTITUSIONAL
Monarki adalah system pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang berhak menggantikan raja adalah keturunanya. Rakyat tidak memiliki hak untuk mengggatikan kekuasaan. Titah raja harus diikuti oleh rakyatnya , sehingga ada ketundukan peneuh dari rakyat yang diperintahnya.Tetapi ada bentuk lain dari monarki, yaitu monarki Konstitusional yang secara jelas dalam konstitusinya disebutkan sebagai Negara kerajaan. Maroko dan Jordania adalah contoh nyata dari monarki konsttitusiaonal.



                                                      DAFTAR PUSTAKA
1.     Ibnu Syarif Mujar dan Zada Khamami.Fiqih syasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, Penerbit Erlangga. 2008
2.     Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik (terjemahan), Al Izzah, Bangil, 1997


Senin, 18 April 2016

Dzikir berjama'ah sesudah Shalat






Dzikir berjama’ah Sesudah Shalat

PEMBAHASAN
            Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul SAW mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?
Dalil yang dijadikan rujukan:
            Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas R.A berkata:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
            Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata:
وَ رَفَعَ الصَّوْتَ بِالتَّكْبِيْرِ إثر كُلِّ صَلَاةِ حَسَنٌ
Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata:
فِيْهِ الإِبَانَةُ عَنْ صِحَّةِ مِا كَانَ يَفْعَلُهُ الأُمَرَاءُ مِنَ التَّكْبِيْرِ عَقَبَ الصَّلَاةِ
Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Fathul Bari, 2: 325)
Pendapat Ulama
            Mayoritas ulama menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
            Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).” (Fathul Bari, 2: 325-326)
Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.
Pijakan Ulama
            Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari R.A ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –  "يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ".
Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.
Ath Thobari rahimahullah berkata,           
فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى
“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135).
            Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul SAW sendiri tidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 151) berkata:
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم
“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”
            Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan suara), berdalil dengan ayat:
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا (الإسراء:110)
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110).
            Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)
            Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, “Do’a jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul SAW. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1: 351)
            Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.
Faidah dari Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah)
            Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الأعراف:55)
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Allah menceritakan tentang Zakariya,                                                                
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا (مريم:3)
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالٍ (الأعراف:205)
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ
Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 468-469)
Faidah Dzikir dengan Lirih
            Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih:
1.     Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.
2.     Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.
3.     Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh dan inti do’a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan do’anya.
4.     Lebih meraih keikhlasan.

PENUTUP
            Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul SAW. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas:
عَنْ عَائِشَةَ ( وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا ) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ .
Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no. 6327)
Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah SAW.